Raja Ampat: Kisah perempuan Papua di balik peristiwa viral Save Raja Ampat
- Penulis, Raja Eben Lumbanrau
- Peranan, Wartawan BBC News Indonesia
Pemerintah mencabut izin usaha pertambangan (IUP) empat perusahaan nikel di Raja Ampat, Papua Barat daya, Selasa (10/06). Keputusan itu diambil sepekan usai sekelompok anak muda dari Raja Ampat dan aktivis Greenpeace ditangkap karena menyerukan ‘SaveRajaAmpat’ dari kerusakan akibat tambang nikel, dalam konferensi nikel internasional di Jakarta.
Greenpeace mengungkapkan bahwa pertambangan nikel di pulau-pulau kecil Raja Ampat telah menyebabkan deforestasi hingga 500 hektare dan pencemaran lingkungan.
Salah satu orang yang melakukan aksi dan sempat ditangkap lalu dibebaskan itu adalah Paulina, perempuan berusia 24 tahun asli dari Kampung Kabare, yang berdekatan dengan Pulau Manuran, Raja Ampat, lokasi operasi tambang nikel.
Sehari usai penangkapan, Paulina berbagi cerita kepada wartawan BBC News Indonesia, Raja Eben Lumbanrau, tentang bagaimana pertambangan nikel merusak hutan, laut dan keharmonisan masyarakat di Raja Ampat, ‘surga terakhir di Bumi’.
‘Biarpun ditangkap, saya tetap berjuang’
Tak terlihat raut kelelahan di wajah Paulina, saat saya jumpai di Jakarta, Rabu (04/06).
Dia terlihat bersemangat ketika membicarakan tentang rangkaian permasalahan yang muncul akibat pertambangan nikel di “surganya” Raja Ampat.
“Hutan kami hilang, laut kami rusak, dan masyarakat kami kini saling bermusuhan,” kata Paulina.
Padahal sehari yang lalu, dirinya bersama tiga pemuda Papua dan beberapa aktivis dari Greenpeace melakukan aksi penolakan di acara Indonesia Critical Minerals Conference 2025 di Jakarta, Selasa (03/06).
Dalam aksi itu, Paulina membentangkan spanduk berwarna kuning bertuliskan ‘Save Raja Ampat from Nickel Mining’ saat Wakil Menteri Luar Negeri, Arief Havas Oegroseno berpidato dan dihadiri oleh pengusaha tambang dunia.
Sesaat kemudian, Paulina dibawa oleh seorang petugas ke ruang panitia dan terekam tangan petugas itu mengapit Paulina.
Paulina dan tiga rekan lainnya, salah satunya adalah aktivis Greenpeace Iqbal Damanik, lalu dibawa ke kantor polisi untuk menjalani pemeriksaan selama berjam-jam, sebelum akhirnya dilepaskan karena tidak melakukan tindakan pidana.
Paulina berkata dirinya tak trauma. Dia akan terus memperjuangkan “surganya” agar selamat dari tambang nikel.
“Biarpun ditangkap, saya tetap berjuang. Raja Ampat itu adalah surga terakhir Indonesia dan dunia. Mereka yang menerima tambang nikel di Raja Ampat adalah orang-orang serakah, tidak memikirkan masa depan anak cucu, tidak memikirkan dampak kerusakan ke depan,” katanya sambil menangis.
Sempat terdiam sesaat, Paulina lalu menjelaskan tangisnya itu karena melihat “Raja Ampat yang kini telah berubah dari kota bahari menjadi bahari tambang. Tambang mengancam kehidupan kami.”
Sumber gambar, Greenpeace
Paulina bercerita, Pulau Manuran yang terletak dekat dengan kampungnya Kabare kini sebagian telah gundul oleh tambang. Bukan hanya itu, terumbu karang dan ikan yang berada di sekitar pulau pun tercemar limbah dari tambang.
“Di musim pasang surut, limbah tambang berwarna coklat mengalir dan mencemari hingga ke kampung saya,” ujarnya.
Padahal di masa lalu, katanya, Pulau Manuran menjadi tempat bagi warga kampungnya untuk mencari ikan dan hasil hutan.
Perusahaan yang beroperasi di Pulau seluas 751 hektare itu adalah PT Anugerah Surya Pratama (ASP), yang izin usaha pertambangannya seluas satu setengah kali pulau telah dicabut oleh pemerintah.
Hasil analisis Greenpeace menunjukkan tingkat deforestasi akibat penambangan pada 2006-2008 di pulau yang masuk dalam wilayah UNESCO Global Geopark itu mencapai 156 hektare.
Selain itu, Greenpeace juga menemukan adanya gumpalan kekeruhan yang terlihat akibat limpasan di laut sekitar Manuran setelah hujan, melalui analisis citra satelit dari 2024.
Sumber gambar, Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup
Temuan Kementerian Lingkungan Hidup juga menunjukkan luas bukaan tambang sebesar 109,23 hektare dan pencemaran lingkungan di Manuran.
“Ini memang menimbulkan pencemaran lingkungan, kekeruhan pantai yang cukup tinggi, dan ini tentu ada konsekuensi yang harus ditanggungjawabi oleh perusahaan tersebut,” kata Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq di Jakarta, Minggu (08/06).
Hanif menjelaskan, kekeruhan itu disebabkan oleh jebolnya salah satu instalasi pertambangan, yakni settling pond atau kolam pengendapan partikel padatan air limbah sebelum dibuang ke lingkungan.
“Tentu kita bisa membayangkan kalau ini dilakukan eksploitasi, pemulihannya tidaklah terlalu gampang karena tidak ada lagi bahan untuk memulihkan,” ujar Hanif.
Sumber gambar, Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup
Kementerian Lingkungan Hidup kini telah menyegel aktivitas penambangan di Pulau Manuran dan akan melakukan gugatan hukum pidana serta perdata ke perusahaan.
“Percemaran dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan, akan tentu dilakukan penegakan hukum, baik hukum pidana maupun gugatan perdata, karena kondisi lingkungannya sudah kami rekam seperti itu, sehingga kepada yang bersangkutan, harus mempertanggungjawabkan kegiatannya,” kata Hanif.
‘Dulu baku jaga, baku sayang, sekarang saling bermusuhan’
Sumber gambar, Matias Mambraku
Selain merusak lingkungan, pertambangan nikel disebut menciptakan konflik di antara masyarakat.
Hal itu diungkapkan oleh Matias Mambraku, 26 tahun, warga asli Pulau Manyaifun yang berprofesi sebagai pemandu wisata sejak 2017.
Matias berkata, sebelum ada tambang masyarakat kampung hidup harmonis.
“Kami baku jaga, baku sayang. Tapi sekarang, tambang buat kita orang semua saling bermusuhan, tidak baku tegur, bahkan sampai baku pukul,” katanya yang menyebut dalam setahun terakhir sudah terjadi setidaknya tiga kali konflik di masyarakat.
Dia bilang tambang telah membuat masyarakat terpecah: ada yang menerima, ada juga yang menolak.
Matias berkata, dirinya dan sekelompok masyarakat menolak tambang nikel karena aktivitas itu merusak lingkungan, ruang hidup, sumber makanan dan mengusir mereka dari kampung halaman.
Di sisi lain, tambahnya, kelompok lain menerima tambang karena tambang akan menciptakan lapangan kerja.
“Yang kami dengar, mereka dijanjikan pekerjaan, terus ada uang-uang besar yang nanti dikasih. Uang-uang adat, uang masyarakat,” katanya.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Olha Mulalinda/nz
Daripada pertambangan, Matias berharap agar pemerintah mengembangkan sektor pariwisata di Raja Ampat dengan pendekatan kearifan lokal.
“Pariwisata yang ramah lingkungan akan melindungi laut dan daratan. Raja Ampat itu surga yang jatuh ke bumi, kebanggaan Indonesia dan dunia. Kita harus melindungi, bukan malah merusak.”
Temuan Greenpeace menunjukkan bahwa Kepulauan Manyaifun dan Batang Pele masuk dalam wilayah IUP milik PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), yang izinnya telah dicabut oleh pemerintah.
Data Kementerian ESDM menunjukkan, PT MRP memegang IUP dari SK Bupati Raja Ampat hingga Februari 2033 dengan luas konsensi mencapai 2.193 hektare, jauh lebih besar dari luas kedua pulau sebesar 1.373 hektare.
Kementerian ESDM menjabarkan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan saat ini adalah ahap eksplorasi (pengeboran) dan belum memiliki dokumen lingkungan maupun persetujuan lingkungan.
‘Deforestasi hingga 500 hektare’
Sumber gambar, Greenpeace Indonesia
Pengamatan Greenpeace Indonesia, eksploitasi nikel di Raja Ampat telah membabat lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik mengatakan, deforestasi lahan terbesar yakni 309 hektare berlangsung di Pulau Gag dan sisanya di Pulau Kawe serta Manuran.
Meskipun terbilang kecil dibandingkan bukaan lahan sawit, kata Iqbal, tapi bagi penduduk yang tinggal di pulau-pulau kecil dampaknya besar.
Selain itu, limpasan lumpur dari pembukaan lahan juga disebut mencemari wilayah pesisir yang banyak terdapat terumbu karang.
“Di Pulau Gag sendiri kami melihat banyak terumbu karang sudah mati atau terganggu. Yang paling terlihat kasat mata adalah pembukaan lahan, deforestasi, dan limpasan lumpur ke wilayah pesisir,” kata Iqbal.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Olha Mulalinda/YU
Greenpeace menemukan terdapat lima izin penambangan nikel yang aktif di Raja Ampat, yang kemudian empat telah dicabut oleh pemerintah.
Perusahaan itu adalah PT Anugerah Surya Pratama di Pulau Manuran, PT Nurham di Pulau Waigeo, PT Mulia Raymond Perkasa di Kepulauan Manyaifun dan Batang Pele, PT Kawei Sejahtera Mining di Pulau Kawe, serta PT Gag Nikel di Pulau Gag.
Selain izin ke lima perusahaan itu, Greenpeace menemukan ada izin-izin lain yang telah diterbitkan untuk perusahaan-perusahaan di Raja Ampat selama hampir 20 tahun.
Izin itu mayoritas di Pulau Waigeo, dengan satu izin di Kepulauan Fam, tempat bukit-bukit indah Pianemo berdiri.
Iqbal mengatakan temuan ini membuktikan besarnya ancaman terhadap ekosistem Raja Ampat, yang akan merugikan masyarakat yang tinggal di sana.
“Kehancuran ekosistem itu mulai dari ancaman deforestasi, kerusakan terumbu karang, dan gangguan terhadap habitat serta spesies kunci di Raja Ampat, baik di wilayah darat maupun di laut,” ujarnya.
Di darat, terdapat 874 spesies tumbuhan (sembilan endemik), 114 spesies herpetofauna (lima endemik), 47 spesies mamalia (satu endemik), dan 274 spesies burung (enam endemik).
Pemerintah cabut empat izin perusahaan
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/nz
Sepekan usai kampanye SaveRajaAmpat menggema di media sosial, pemerintah akhirnya memutuskan untuk mencabut empat izin usaha tambang di Raja Ampat.
“Bapak Presiden memutuskan, memperhatikan semua yang ada, mempertimbangkan secara komprehensif, dan Bapak Presiden memutuskan bahwa empat IUP yang di luar Pulau Gag itu dicabut. Jadi mulai terhitung hari ini, pemerintah telah mencabut empat IUP di Raja Ampat,” ujar Menteri ESDM Bahlil Lahadalia saat jumpa pers di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (10/06).
Empat perusahaan yang dicabut izinnya adalah PT Anugerah Surya Pratama, PT Nurham, PT Mulia Raymond Perkasa dan PT Kawei Sejahtera Mining. Sementara itu, PT Gag Nikel masih diizinkan beroperasi.
Bahlil mengungkapkan pencabutan izin itu diambil karena pemerintah menemukan adanya pelanggaran.
“Alasan pencabutan tadi sudah disampaikan bahwa pertama secara lingkungan, atas apa yang disampaikan Menteri LH kepada kami, itu melanggar. Kedua, kita juga turut mengecek di lapangan, kawasan-kawasan ini menurut kami harus kita lindungi, dengan tetap memperhatikan biota laut, dan juga alat konservasi,” jelas Bahlil.
Bahlil mengatakan, dari sisi lingkungan IUP milik empat perusahaan itu juga sebagian masuk ke kawasan UNESCO Global Geopark. Oleh karena itu, pihaknya mencabut IUP empat perusahaan itu.
Sumber gambar, ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/YU
Perusahaan ini memegang Kontrak Karya (KK) Generasi VII dengan luas wilayah 13.136 hektare di Pulau Gag. Perusahaan telah memasuki tahap Operasi Produksi yang berlaku hingga 30 November 2047. PT Gag Nikel telah memiliki dokumen AMDAL, IPPKH (Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan), dan Penataan Areal Kerja (PAK).
Hingga 2025, total bukaan tambang mencapai 187,87 hektare, dengan 135,45 hektare telah direklamasi. PT Gag Nikel belum melakukan pembuangan air limbah karena masih menunggu penerbitan Sertifikat Laik Operasi (SLO).
PT Anugerah Surya Pratama (ASP)
Perusahaan ini mengantongi IUP Operasi Produksi yang diterbitkan 7 Januari 2024 dan berlaku hingga 7 Januari 2034. Wilayahnya memiliki luas 1.173 hektare di Pulau Manuran. Untuk aspek lingkungan, PT ASP telah memiliki dokumen AMDAL pada 2006 dan UKL-UPL di tahun yang sama dari Bupati Raja Ampat.
PT Mulia Raymond Perkasa (MRP)
Perusahaan ini memegang IUP dari SK Bupati Raja Ampat pada 2013 yang berlaku hingga 26 Februari 2033 dan mencakup wilayah 2.193 hektare di Pulau Batang Pele. Kegiatan masih dalam tahap eksplorasi (pengeboran) dan belum memiliki dokumen lingkungan maupun persetujuan lingkungan.
PT Kawei Sejahtera Mining (KSM)
PT KSM memiliki IUP dari SK Bupati Raja Ampat pada 2013, yang berlaku hingga 2033 dengan wilayah seluas 5.922 Ha. Untuk penggunaan kawasan, perusahaan tersebut memegang IPPKH berdasarkan Keputusan Menteri LHK pada 2022. Kegiatan produksi dilakukan sejak 2023, namun saat ini tidak terdapat aktivitas produksi yang berlangsung.
PT ini memegang IUP berdasarkan SK Bupati Raja Ampat hingga 2033 dengan wilayah seluas 3.000 hektar di Pulau Waegeo. Perusahaan telah memiliki persetujuan lingkungan dari Pemkab Raja Ampat sejak 2013. Hingga kini perusahaan belum berproduksi.