‘Aksi piknik’ sekelompok anak muda yang masih menentang UU TNI di depan gerbang DPR ‘sampai menang’
Sumber gambar, Tw Utomo
Sekelompok anak muda masih berkeras menentang Undang-Undang TNI dengan mendirikan tenda di depan gerbang Gedung DPR, Jakarta. Aksi mereka dinilai tak serta merta bisa membatalkan undang-undang yang sudah sah, namun bisa mengundang khalayak untuk mencari tahu isu terkini dan bersikap kritis.
Kendati dibubarkan aparat berkali-kali, sekelompok anak muda tetap berkeras menggelar tenda di depan gerbang Gedung DPR, Jakarta, sejak awal April lalu.
Dengan berpiknik di antara gedung menjulang dan lalu lintas Jakarta yang hampir selalu tersendat, mereka sengaja memperlihatkan paradoks.
Tujuannya, kata salah satu dari mereka, “menumbuhkan kesadaran orang awam tentang apa yang terjadi di negara ini”.
Selama berada di sana, mereka mengisi waktu luang dengan diskusi, latihan tinju, membaca buku, mewarnai kuku, sampai membaca kartu tarot.
Siapa sebenarnya orang-orang muda ini? Mengapa mereka berhari-hari menggelar tenda di depan parlemen? Dan seberapa realistis tujuan mereka?
‘Aku datang dari keluarga tentara’
Sumber gambar, Johanes Hutabarat
Fasya adalah salah seorang peserta ‘aksi piknik’ di dekat Gedung DPR, Jakarta. Saat ditemui pada Selasa (05/04), mahasiswi sebuah kampus negeri di Jakarta itu sedang duduk di trotoar bersama rekan-rekannya sesama peserta aksi.
Di sela-sela dua tenda, Fasya dan teman-temannya mengobrol hal-hal santai seputar zodiak sambil mendengarkan lagu yang diputar menggunakan pengeras suara portable. Gelas-gelas plastik berisi teh dan kuaci menemani mereka berkumpul.
Hari itu bukan hari pertamanya ikut dalam ‘aksi piknik’ itu. Ia sudah berpartisipasi sejak aksi menginap di belakang DPR pekan sebelumnya yang berakhir dengan pembubaran oleh Satpol PP.
Sebelumnya, dia juga sempat ikut aksi sahur di depan Hotel Fairmont, Jakarta. Kala itu aksi dilakukan guna memprotes para anggota DPR yang dinilai mengebut pembahasan RUU TNI di hotel tersebut.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Fasya tak selalu menginap, namun ia berupaya menyempatkan waktu untuk hadir.
Dari rumahnya di Jakarta Timur, dia berangkat menggunakan sepeda motor ke Senayan.
Perempuan berusia 20 tahun itu mengaku bahwa sebenarnya keluarganya tak mendukung ia ikut aksi tersebut.
“Aku datang dari keluarga tentara,” ujar Fasya.
Dia menyebut kakeknya baik dari pihak ibu maupun ayahnya sama-sama pensiunan Angkatan Darat.
Sumber gambar, Tw Utomo
Ia bercerita bibi-bibinya sempat mempertanyakan maksudnya ikut dalam aksi protes akhir-akhir ini.
“Emang yang datang demo tuh tau tuntutannya apa?” kata Fasya mengulang pertanyaan keluarganya.
Dia menjawab pertanyaan itu dengan jawaban: “Orang kalau udah mau turun ke jalan berarti dia udah tau ada yang salah. Enggak perlulah kita jauh-jauh baca undang-undang setebal-tebal itu kan,” katanya.
Fasya mengaku dirinya relatif baru ikut aksi demonstrasi. Menurutnya, dia juga bukan anak yang aktif dalam organisasi dan aktivisme. Namun, ia memendam keinginan ikut gerakan protes.
Dia mengikuti isu seperti UU TNI dari media sosial sambil sesekali menanyakan isu itu kepada teman-temannya. Seiring itu, pengetahuannya semakin berkembang.
Sumber gambar, Tw Utomo
Ajakan seorang teman membukakan pengalaman pertamanya mengikuti aksi protes di depan Hotel Fairmont, Jakarta. Kemudian berlanjut pada aksi mendirikan tenda di belakang Gedung DPR.
Bagi Fasya, mengikuti aksi protes tersebut bukan tanpa keraguan. “Kayaknya ini mah 15 menit keangkut nih,” ungkap Fasya soal keraguan yang terbersit di benaknya pada hari pertama mendirikan tenda.
Belum lagi cibiran soal di media sosial. Salah satunya perihal benda-benda bermerek yang dikenakan sebagian peserta aksi.
“Urusan tas itu digoreng buzzer, terus aku diam aja,” kata Fasya, yang sempat kesal dengan tuduhan-tuduhan yang dilontarkan sebagian pengguna media sosial.
Fasya mengeklaim bahwa ia ikut aksi dengan dana pribadi. Ada pula dana dari pihak-pihak yang mengirimkan sumbangan. Akun @barengwarga yang mempromosikan aksi protes ini diketahui memang membuka sumbangan melalui platform digital.
Fasya mengungkapkan apa yang dilakukan dirinya dan teman-temannya yang lain bisa memberikan warna berbeda dalam suatu aksi demonstrasi.
“Kita di sini melakukan aktivitas-aktivitas yang biasa kita lakukan di rumah, tapi kita lakukan di ruang publik,” kata Fasya.
“Mungkin bisa dibilang sebagai aksi damai dengan wajah baru,” lanjutnya.
Dengan cara-cara seperti ini, diharapkan aksi tersebut menarik perhatian anggota DPR serta “bisa jadi pemantik” perhatian warga.
“Menumbuhkan self-awareness di orang-orang awam,” kata Fasya.
‘Sampai menang’
Jaka adalah salah satu yang rutin menginap di tenda. Dia bekerja sebagai seorang teknisi lift di perkantoran di bilangan Thamrin, Jakarta.
Dia mengungkap awalnya tak begitu mengikuti isu, seperti UU TNI yang dikritik sesama peserta aksi.
“Karena terhalang pekerjaan agak kurang aware tentang itu,” ujar laki-laki berusia 24 tahun tersebut.
Sumber gambar, Tw Utomo
Dia mengaku saat kuliah sempat membaca terkait isu-isu yang berkembang di Indonesia. Namun, dirinya bukan mahasiswa yang aktif dalam organisasi, meski sesekali ikut aksi demo.
Jaka tergerak mengikuti aksi protes setelah mempelajari revisi UU TNI yang berkembang, seperti militer yang masuk ke ranah sipil.
“Itu yang membuat saya akhirnya, ‘Wah ternyata seberbahaya itu revisi UU TNI’,” kata pria asal Jawa Barat ini.
Melihat unggahan ajakan berpiknik di belakang gedung DPR sebagai bentuk protes, Jaka tertarik untuk ikut.
‘Aksi piknik’ bisa dengan bebas diisi dengan berbagai kegiatan. Jaka mengutarakan idenya: latihan tinju.
Dia lantas membawa sejumlah peralatan latihan tinju dan tali skipping untuk para peserta aksi yang ingin berlatih. Pernah suatu kali delapan orang ikut berlatih di belakang DPR.
“Udah banyak yang nanya-nanya kapan lagi ada kelas,” kata Jaka yang memang terbiasa berlatih di sasana tinju.
Jaka mengaku senang dengan keleluasaan berkegiatan untuk mengisi ‘aksi piknik’ ini.
Meski pernah beberapa kali mengalami pengusiran oleh aparat, ia tetap kembali.
“Di sini pikiran kita untuk sampai menang, sampai revisi UU TNI dicabut,” cetusnya.
Sejumlah aksi protes yang digelar rutin
Sumber gambar, ANTARA
Di Indonesia, ada beragam aksi protes yang telah berjalan berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Berikut beberapa di antaranya:
‘Aksi Kamisan’ digelar sejak 18 Januari 2007. Aksi ini dimulai orang-orang yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan. Di antaranya adalah Suciwati, Maria Katarina Sumarsih, Suciwati, dan Bedjo Untung.
Aksi ini diadakan rutin sebagai protes keluarga korban yang hilang atau meninggal saat Semanggi 1 dan 2, kasus HAM Tanjung Priuk, Talangsari, pembunuhan aktivis HAM, Munir, serta Tragedi 1965.
Aksi ini rutin digelar di depan Istana Kepresidenan, Jakarta setiap Kamis sore. Tak hanya di Jakarta aksi ini juga dilaksanakan di wilayah lain, seperti Bandung, Yogyakarta, Manado, dan sejumlah kota lainnya.
Kini ‘Aksi Kamisan’ sudah memasuki 18 tahun.
Di Bandung, Jawa Barat, ratusan warga Dago Elos melawan klaim keluarga Muller atas tanah mereka. Aksi protes mereka lakukan selama bertahun-tahun sejak pertama mencuat pada 2016. Bentuk protes dan solidaritas warga juga terwujud melalui festival-festival diadakan warga.
Tragedi Kanjuruhan yang menelan 135 korban jiwa akibat terhimpit dan berdesak-desakan saat keluar dari stadion akibat tembakan gas air mata aparat juga diperingati oleh para keluarga korban. Peringatan sudah berjalan dua tahun, sejak terjadinya tragedi tersebut pada 2022.
Peringatan diisi dengan kegiatan doa bersama di depan gerbang 13—pintu stadion tempat ditemukan banyak korban meninggal saat mencoba keluar dari stadion.
Keluarga korban menggunakan peringatan itu untuk menuntut keadilan. Mereka menilai aparat yang bertanggung jawab belum diadili.
“Tak akan punya pengaruh”
Pengajar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti, yang mengamati gerakan-gerakan masyarakat menyebut ‘aksi piknik’ tak dapat banyak mempengaruhi pembuat kebijakan.
Bivitri yang sempat terlibat diskusi dengan peserta piknik di belakang DPR, menyebut aksi tersebut “tak akan punya pengaruh” membatalkan undang-undang, seperti UU TNI yang sudah disahkan DPR akhir Maret 2025 lalu.
“Ini mereka mau demonstrasi ribuan orang juga enggak bergeming kok,” kata Bivitri yang sambil menunjuk gedung DPR.
“Mereka [DPR dan pemerintah], menurut saya, udah kebal pada massa,” tambah Bivitri.
Meskipun demikian, Bivitri menganggap gerakan ini penting untuk mengundang warga untuk tetap bersuara.
“Jadi lebih ke manfaatnya ke perubahan relasi itu. Dan lebih memperluas gerakan warga,” kata Bivitri.
Sumber gambar, Johanes Hutabarat
Bivitri menilai ‘aksi piknik’ di dekat Gedung DPR agak berbeda dengan aksi yang rutin seperti ‘Aksi Kamisan’, yang ia deskripsikan banyak dihadiri aktivis.
Namun, menurut Bivitri aksi-aksi yang cenderung lebih santai justru memudahkan masyarakat umum untuk berinteraksi.
“Ini adalah tempat kayaknya orang tuh bisa merasa aman untuk join. Karena mereka enggak terlalu kayak aktivis banget, santai banget,” kata Bivitri.
Terharu
Sejauh ini baik Fasya maupun Jaka sama-sama ingin terus berpiknik di belakang gedung DPR, meski tak tahu seperti apa gerakan itu di masa depan.
Meskipun begitu, Fasya merasa interaksi sederhana dengan warga yang berlalu lalang cukup menumbuhkan semangat.
Fasya bercerita sesekali para pengendara sepeda motor yang lewat menyerukan semangat.
Selain itu, para penumpang TransJakarta melambaikan tangan dari dalam bus kepada mereka.
“Ternyata gerakan ini tuh dilihat sama mereka,” kata Fasya. “Terharu banget,” tambahnya.
Reportase oleh Johanes Hutabarat
Sumber