Polisi: Kontroversi RUU Polri dan RUU KUHAP – Apa saja yang bermasalah dan poin apa yang seharusnya dimuat?
Sumber gambar, Getty Images
Proses revisi UU Polri dan Kitab Undang-Undang Acara Pidana (KUHAP) bakal bergulir di DPR. Dua rancangan beleid itu ditolak berbagai lembaga masyarakat pemantau isu keamanan.
Kelompok sipil dan pakar hukum menilai revisi dua undang-undang itu tidak bertujuan memperbaiki Polri yang selama ini dirundung “masalah penyalahgunaan kekuasaan dan kesewenang-wenangan”.
Sebaliknya, mereka menganggap RUU Polri dan RUU KUHAP justru akan memperluas kewenangan Kepolisian. Polri dicemaskan akan menjadi lembaga super kuat yang kebal dari pengawasan, termasuk ketika disalahgunakan menjadi aktor politik.
DPR sempat membahas UU Polri pada 2024, tapi direspons dengan gelombang unjuk rasa di berbagai daerah. Badan Legislasi Nasional DPR ketika itu menyerahkan proses revisi beleid itu kepada anggota dewan periode 2024-2029.
Sumber gambar, Getty Images
Ketua DPR, Puan Maharani, pekan ini membuat klaim lembaganya belum memulai proses revisi UU Polri.
Alasannya, kata dia, Presiden Prabowo Subianto urung mengirim surat presiden sebagai tanda persetujuan pemerintah atas rencana pembahasan sebuah rancangan undang-undang.
Adapun RUU KUHAP bakal segera dibahas DPR setelah para anggota dewan menyelesaikan masa reses (jeda sidang) pada 16 April mendatang.
Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, bilang proses revisi KUHAP bisa selesai paling cepat dalam satu kali masa sidang.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Kepada pers, anggota Komisi III, Hinca Panjaitan, menyebut institusinya berjanji untuk membahas RUU Polri dan RUU KUHAP secara terbuka—dengan partisipasi publik.
“Apakah akan dibahas di tempat tertentu? Tentu saja di sini, di parlemen,” kata Hinca kepada pers di Gedung DPR, Jakarta, 24 Maret lalu.
Pertanyaannya, poin apa saja di dalam dua rancangan belied itu yang membuat kelompok sipil dan pakar hukum cemas? Bisakah dua undang-undang ini justru menjadi alat perbaikan institusi kepolisian?
‘Pengawasan polisi sama sekali tidak diperkuat’
Upaya revisi UU Polri bergulir di tengah berbagai kasus yang terjadi di kepolisian, dari kasus kekerasan seksual para perwiranya, perkara korupsi, hingga kesewenangan yang berakibat kematian tertuduh pelaku kejahatan di luar hukum.
Merujuk ragam persoalan tersebut, Bambang Rukminto, pemantau isu keamanan dari Institute for Security and Strategic Studies, menyebut revisi UU Kepolisian seharusnya membenahi sistem pengawasan terhadap polisi.
Anehnya, kata Bambang, aspek pengawasan ini tidak disentuh oleh pemerintah dan DPR dalam proses revisi UU Polri.
Sumber gambar, Antara Foto
“Harapan masyarakat terkait revisi ini tentu adalah Polri yang lebih profesional. Untuk menuju ke sana, diperlukan sistem kontrol dan pengawasan yang lebih ketat,” kata Bambang, Selasa (25/03).
“Namun di dalam draf RUU Polri, kontrol dan pengawasan nyaris tidak diperkuat. Justru sebaliknya kewenangannya yang diperkuat.
“Padahal dengan undang-undang yang selama ini berlaku saja, mereka kerap melakukan abuse of power,” ujar Bambang.
Selama lebih dari satu dekade ke belakang, dasar hukum institusi kepolisian adalah UU Nomor 2 Tahun 2002. Aturan ini disusun sebagai tindak lanjut dari amanat reformasi yang dituangkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Pada Orde Baru, kepolisian merupakan bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Pascareformasi, Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 mewajibkan pemisahan peleburan ABRI alias pemisahan antara Polri dan TNI.
Sebagai konsekuensinya, disahkan pula Ketatapan MPR Nomor VII/MPR/2000 yang menegaskan perbedaan peran TNI dan Polri. Militer diserahi tugas dalam urusan pertahanan, sementara kepolisian mendapat mandat mengurus keamanan.
DPR dan pemerintah membentuk dan mengesahkan UU Polri tahun 2002 dengan dasar dua Ketetapan MPR tersebut.
Sumber gambar, Antara Foto
Merujuk beleid itu, Bambang menyebut bahwa pengawasan terhadap polisi dilakukan secara internal melalui Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) serta Inspektorat Pengawasan Umum (Irwasum).
Namun karena dua lembaga itu berada di dalam tubuh kepolisian, Bambang menyebut pengawasan terhadap polisi tidak tegas dan objektif.
“Bagaimana mungkin kontrol dan pengawasan bisa kuat kalau polisi sendiri yang membuat peraturan, yang melaksanakan, dan mereka juga yang mengawasi,” ujar Bambang.
Mekanisme lain yang diatur dalam UU Polri 2/2002 adalah melalui peran Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Namun lembaga ini juga disebut Bambang gagal melaksanakan tugas.
Dalam sejumlah kasus, Bambang menyebut Kompolnas justru bertindak seperti “pembela dan juru bicara kepolisian”.
“Kewenangan yang diberikan undang-undang kepada Kompolnas lemah. Komisioner mereka juga didominasi unsur pemerintah dan Polri,” kata Bambang.
Sumber gambar, Getty Images
Sebagai solusi persoalan pengawasan ini, Bambang menyebut pemerintah dan DPR semestinya memperkuat sistem pengawasan eksternal terhadap Polri.
Lembaga pengawas itu, kata dia, tidak boleh berada di bawah subordinasi pimpinan kepolisian.
Dalam draf terakhir RUU Polri, pengawasan eksternal seperti yang disebut Bambang tidak diusulkan oleh DPR dan pemerintah.
“Peran kepolisian sebagai ujung tombak penegakan hukum itu kan sangat vital. Tanpa ada kontrol dan pengawasan eksternal yang kuat, berbagai pelanggaran yang dilakukan secara terstruktur bisa terulang lagi,” kata Bambang.
Menurut Muhammad Isnur, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), draf RUU Polri mencerminkan “kegagalan pemerintah dan DPR” melihat persoalan fundamental di tubuh kepolisian.
Isnur berkata, pengabaian terhadap isu pengawasan akan berujung pada impunitas terhadap para polisi yang melanggar hukum.
Apa saja pasal dalam RUU Polri yang dianggap bermasalah?
Terdapat 12 persoalan dalam berbagai usulan pengaturan baru dalam RUU Polri, menurut kajian YLBHI.
- Pasal 7 dan 10, kata Isnur, berpotensi mengaburkan sistem pertanggungjawaban para pejabat kepolisian. Karena dua pasal itu tidak mengatur susunan organisasi dan tata kerja Polri secara ketat, Isnur menyebut para pejabat polisi dapat saling melempar tanggung jawab.
- Pasal 14 ayat (1) memperluas kewenangan Polri, bahkan berisiko memicu konflik dengan lembaga lain, kata Isnur. Pengaturan ini menambah lima tugas baru polisi sehingga total berjumlah 16 tugas.
- Pasal 14 ayat (1) huruf c mengatur bahwa Polri dapat “melaksanakan tugas lain”. Isnur menyebut pengaturan itu dapat membuka polisi mengerjakan urusan di luar tugas utamanya.
Seperti dalam liputan BBC News Indonesia sebelumnya, Polri sejak Januari lalu menggelar proyek penanaman jagung seluas 1,7 juta hektare. Proyek itu dikritik karena tak sesuai dengan tugas utama polisi di bidang hukum, tapi disangkal pejabat kepolisian dengan alasan “program pangan adalah bagian dari upaya melayani masyarakat”.
- Pasal 14 ayat (1) huruf m, kata Isnur, diatur multitafsir sehingga polisi seolah bisa memberi pelayanan kepada masyarakat tanpa batas-batas yang jelas. “Polri dapat kian leluasa melakukan bisnis jasa atas nama pelayanan masyarakat,” kata Isnur.
Sumber gambar, Getty Images
- Pasal 14 ayat (1) huruf a disebut Isnur membuka pintu bagi polisi untuk berbisnis dengan memberi jasa penjagaan, pengawalan, dan patroli.
- Pasal 14 ayat (2) huruf c memungkinkan Polri berbisnis dalam proyek smart city (kota cerdas) dengan pendekatan sekuritisasi.
- Pasal 14 ayat (1) huruf o memberi diskresi yang besar kepada polisi untuk melakukan penyadapan, padahal undang-undang yang mengatur batas-batas penyadapan belum dibuat dan disahkan, kata Isnur.
Isnur menilai pengaturan ini seperti mengistimewakan Polri karena penyidik KPK harus mendapat izin dari Dewan Pengawas KPK sebelum melakukan penyadapan.
- Pasal 14 ayat (1) huruf g berkaitan dengan pengaturan pada huruf o, bahwa Polri dapat mengawasi dan membina penyidik di lembaga lain. Isnur berkata, ketentuan ini akan menjadikan Polri sebagai “penyidik super”.
Lebih dari itu, pengaturan ini juga disebut Isnur memberi kewenangan pada polisi untuk membina Pasukan Pengamanan Masyarakat (PAM) Swakarsa. Isnur menyebut ketentuan ini berpotensi mengulang “sejarah kelam tahun 1998” saat PAM Swakarsa terlibat dalam sejumlah kerusuhan.
Sumber gambar, Getty Images
- Pasal 16 ayat (1) huruf n memberi kewenangan Polri untuk mengangkat penyidik pegawai negeri sipil. Isnur berkata, pengaturan itu memberi lampu hijau bagi kepolisian untuk mengintervensi rekrutmen penyidik di lembaga lain, termasuk KPK.
- Pasal 16 ayat (1) huruf p, kata Isnur, membuat mekanisme seolah-olah penyidik dari lembaga lain, termasuk KPK, harus mendapat surat pengantar dari kepolisian, sebelum menyerahkan berkas penyidikan kepada jaksa.
“Pengaturan ini mengganggu independensi KPK dan lembaga lain yang sebenarnya tidak membutuhkan rekomendasi kepolisian dalam meneruskan perkara ke kejaksaan,” kata Isnur.
- Pasal 16 ayat (1) huruf q memberi kewenangan Polri untuk “melakukan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan perlambatan akses ruang siber untuk tujuan keamanan dalam negeri”. Kewenangan itu, menurut Isnur, berpotensi menekan kebebasan berpendapat dan berekspresi masyarakat.
Kewenangan semacam ini pernah dijalankan pemerintah pada 2019 saat mereka memperlambat dan memutus akses internet di Tanah Papua.
Ketika itu, berbagai daerah di Tanah Papua diwarnai unjuk rasa menentang rasisme terhadap orang-orang asli Papua.
Isnur heran kewenangan itu diberikan ke Polri. Apalagi, kata dia, Pengadilan Tata Usaha Negara telah menyatakan bahwa perlambatan dan pemblokiran akses internet di Tanah Papua merupakan perbuatan melawan hukum.
- Pasal 16A huruf d memberi kewenangan polisi untuk mencegah, menangkal, dan menanggulangi “ancaman, termasuk keberadaan dan kegiatan orang asing demi kepentingan nasional”.
Meski terhadap frasa “dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”, Isnur khawatir pasal ini dapat membatasi solidaritas dan bantuan orang-orang non-WNI dan lembaga internasional terhadap situasi di Indonesia.
Sumber gambar, AFP
- Pasal 16A dan 16B memungkinkan polisi menagih data intelijen dari lembaga telik sandi lain seperti BIN, BAIS, dan BSSN, kata Isnur.
Tanpa batasan yang jelas, Isnur menyebut kewenangan mengumpulkan data intelijen “atas dasar kepentingan negara” bisa menyimpangi hak-hak dasar warga.
- Pasal 30 menaikkan batas usia pensiun menjadi 60-62 tahun bagi polisi serta 65 tahun bagi polisi yang memegang jabatan fungsional. Isnur menyebut pengaturan ini dapat memicu penumpukan jumlah perwira tinggi dan menengah.
Isnur khawatir, persoalan yang akan muncul itu akan diatas dengan penempatan polisi di jabatan sipil.
‘Semestinya revisi KUHAP harus selesai lebih dulu’
Revisi UU Polri dan KUHAP berkaitan erat karena mengatur bagaimana polisi bekerja sebagai sebuah lembaga penegak hukum, kata Bugivia Maharani, peneliti di Pusat Studi Hukum dan Konstitusi.
Walau begitu, Maharani menyebut berbagai hal yang terkait kinerja Polri dalam sistem peradilan pidana seharusnya diatur dalam perubahan KUHAP.
Mendahulukan revisi KUHAP, kata Maharani, akan mencegah DPR dan pemerintah memasukkan kewenangan penegak hukum ke dalam RUU Polri.
Hal ini perlu dicegah karena penegak hukum bukan hanya Polri, tapi juga lembaga lain seperti Kejaksaan Agung, KPK, dan BNN.
“Harus diatur dulu payung hukum sistem peradilan pidana yang mengatur kewenangan para penegak hukum,” ujar Maharani.
Sumber gambar, AFP
Revisi KUHAP lebih mendesak dibahas dibanding RUU Polri
Peneliti hukum di Institute For Criminal Justice Reform (ICJR), Iftitah Sari, menilai revisi UU KUHAP lebih mendesak dibahas dibanding RUU Polri karena fungsinya untuk mengatur prosedur polisi dalam menangani kasus.
Menurut Iftitah KUHAP yang ada sekarang ini sudah berusia 40 tahun sejak undang-undang itu disahkan pada 1981.
ICJR mencatat draft revisi KUHAP sudah pernah muncul sejak 2004. Upaya merevisinya, menurut Iftitah, penuh dinamika sebab beleid ini berfungsi mengatur kewenangan para penegak hukum.
“Diagung-agungkan pada zamannya itu dianggap karya anak bangsa pada masa itu,” kata Iftitah, seraya membandingkannya dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang merupakan peninggalan kolonial Belanda.
Revisi KUHAP ini menurut Iftitah diperlukan untuk menyesuaikan kondisi perubahan zaman dan juga menjawab kritik yang kerap diterima lembaga kepolisian selama ini.
“Salah satunya menjawab isu soal kelembagaan kepolisian dan penyidikan juga yang enggak akuntabel,” kata Iftitah.
Iftitah menilai revisi ini diharapkan bisa menjawab masalah akuntabilitas ini. Ia mencontohkan soal narasi “no viral, no justice”, kondisi saat penegak hukum baru sigap menangani kasus saat masalah terlanjur ramai diperbincangkan di media sosial.
Sumber gambar, ANTARA
Melihat kondisi itu, Iftitah menilai revisi beleid ini diharapkan dapat menjadi landasan hukum pengawasan kepada kepolisian saat menangani perkara pidana.
“Misalnya penyidik atau polisi ketika dia menangani kasus perkara pidana, dia ada yang mengawasi,” kata Iftitah.
“Kalau dia (polisi) enggak nge-follow-up laporan, ada konsekuensinya. Apa pelapor bisa mengadu ke penuntut umum misalnya,” kata Iftitah.
Iftitah juga mengatakan bahwa revisi ini dapat memberikan rambu-rambu agar kepolisian tidak sewenang-wenang melakukan tindakan upaya paksa, seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan.
“Jadi memang yang harus jadi prioritas dan ini memang urgent banget adalah RUU KUHAP. Dan itu sebetulnya juga menjawab masalah dari isu-isu soal kekerasan kepolisian,” katanya.
Poin-poin Revisi KUHAP yang dikritisi
Meski mendukung revisi KUHAP, Iftitah Sari menyorot sejumlah pasal yang ada pada draft RUU per 20 Maret 2025, yang mereka dapat di situs DPR.
- Pasal 23 ayat (7) pelapor atau pengadu dapat melaporkan penyelidik atau penyidik yang tidak menindaklanjuti laporan atau pengaduan kepada atasan penyidik atau pejabat pengemban fungsi pengawasan dalam penyidikan.
Iftitah mengapresiasi pasal ini memberikan tenggat kepada penyidik agar segera memproses laporan dalam kurun waktu 14 hari.
Namun, menurutnya pelapor hanya bisa melaporkan keterlambatan pengurusan perkaranya kepada atasan penyidik yang berasal dari satu institusi.
“Sama-sama satu kantor juga, jadi mekanisme check and balances-nya, pengawasannya juga gak akan jalan-jalan kemana-mana,” kata Iftitah.
Menurutnya, fungsi pengawasan dari personel institusi yang sama tidak cukup memberi dorongan agar sang penegak hukum serius menangani perkara.
Ia menilai dibutuhkan institusi lain agar tetap bisa mengawasi kepolisian serius menangani perkara yang mereka terima.
Sumber gambar, Getty Images
- Pasal 31 ayat (2) Pemeriksaan dapat direkam dengan menggunakan kamera pengawas selama pemeriksaan berlangsung.
Dengan kalimat seperti ini, Iftitah mengatakan ayat ini tidak mewajibkan pemeriksaan direkam.
“Nah yang jadi isu adalah, dia kata ‘dapat’ itu, kalau secara teknis hukum kan dia enggak wajib,” kata Iftitah.
Padahal, Iftitah menilai keberadaan kamera pengawas itu penting dalam pemeriksaaan, terutama agar bisa jadi bukti agar jalannya pemeriksaan tidak dilakukan secara sewenang-wenang.
“Intinya kan untuk mencegah penyiksaan, kekerasan,” tegasnya.
“[Penyiksaan dan kekerasan] sangat tinggi kan trennya, dan enggak cuma korban luka-luka, korban meninggal juga banyak,” kata Iftitah.
“Penting untuk memastikan enggak ada nyawa-nyawa lagi yang dikorbankan dengan kita mengubah si KUHAP ini,” tambahnya.
- Pasal 93 ayat (5) huruf b, c ketentuan soal penahanan, termasuk saat tersangka atau terdakwa terdakwa memberikan informasi tidak sesuai fakta pada saat pemeriksaan, dan tidak bekerja sama dalam pemeriksaan.
Untuk poin memberikan informasi tidak sesuai fakta, Iftitah menjelaskan, hal ini berlawanan dengan hak ingkar yang melekat pada tersangka atau terdakwa. Hak ingkar ini sedianya diatur dalam hukum acara pidana yang masih berlaku sekarang.
“Kalau dia [tersangka] enggak gunakan hak itu, dan dia dipaksa mengaku, itu jadi alasan penahanan agak konyol juga,” kata Iftitah.
Sumber gambar, Getty Images
- Pasal 137-139 Pasal 137 mengatur hak penyandang disabilitas yang diperiksa. Sementara asal 138-139, merupakan aturan mengenai penanganan untuk tersangka, terdakwa, terpidana, saksi dan korban, seperti perempuan dan orang tua.
ICJR menyebut pasal-pasal ini merupakan pasal yang diklaim pemerintah untuk memberikan hak bagi kelompok rentan.
Sebagai contoh dalam pasal 137 ayat 1, misalnya berbunyi “penyandang disabilitas berhak atas pelayanan dan sarana prasarana berdasarkan ragam penyandang disabilitas dalam setiap tingkat pemeriksaan.”
Hanya saja Iftitah menilai RKUHAP ini tidak secara detail menjelaskan bagaimana kelompok rentan tersebut dapat mengakses hak mereka.
Iftitah berpendapat harusnya KUHAP ini bisa menjabarkan secara lengkap bagaimana kelompok ini bisa mengakses hak dan mendapat pendampingan saat mereka sedang menghadapi perkara.
Tak hanya itu, Iftitah juga mengatakan pasal itu juga seharusnya memuat ketentuan yang mengatur pihak yang bertanggung jawab beserta konsekuensinya, bila kelompok rentan ini gagal mendapat hak mereka.
Menurutnya bila, hal-hal tersebut tidak dijabarkan secara detail, maka hak-hak yang disebut dalam pasal tersebut “cuma akan jadi ornamen di atas kertas”.
Sumber